Mengenal Lebih Dekat Apa Itu Body Dysmorphic Disorder

Oleh : Anggitya Nur Rahmadani
Editor : Anggi Andarini Ritonga

     Setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk menjadi sempurna. Manusia juga memiliki obsesi mengenai penampilan mereka dan segala kekurangan yang dimiliki. Ditambah lagi, beberapa orang memiliki sesuatu yang tidak disukai dari penampilannya, seperti mata yang terlalu besar atau kecil, maupun hidung yang terlalu besar atau kecil. Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa masih banyak orang yang tidak puas dengan body image mereka. Body image didefinisikan sebagai persepsi dan sikap diri terhadap penampilan fisik. Distorsi yang berlebihan terhadap body image atau citra tubuh tersebut dapat berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yang disebut body dysmorphic disorder.

     American Psychiatric Association (2013) menjelaskan bahwa body dysmorphic disorder atau disingkat BDD adalah preokupasi (pikiran berulang) mengenai kerusakan atau kekacauan dalam penampilan fisik dan menyebabkan adanya distress dan penurunan fungsi sosial. Berdasarkan DSM-V, beberapa gejala yang dapat ditemukan pada penyintas BDD yaitu adanya perilaku berulang (seperti memeriksa cermin, mencubit pipi), sering membandingkan penampilannya dengan orang lain, atau merasa terlalu kurus atau kurang berotot (dismorfia otot). 

Sumber : saintifia.org

     Setiap orang pasti memiliki kekhawatiran terhadap penampilan dan kekurangan dalam dirinya. Namun, seseorang dengan BDD akan cenderung untuk selalu berpikir tentang penampilan mereka selama beberapa jam dalam sehari. Schieber, Kollei, Zwaan, & Martin (2015) menjelaskan bahwa mereka tidak bisa mengontrol pikiran negatif tentang penampilan mereka. Mereka tidak mempercayai omongan orang bahwa penampilan mereka sudah lebih dari cukup. Pikiran-pikiran negatif tersebut kemudian dapat mengakibatkan kecemasan berlebih dan malfungsi dalam kegiatan sehari-hari. Mereka bahkan akan meninggalkan pekerjaan atau sekolah, menghindari keluarga dan temannya karena takut orang lain akan menyadari kekurangannya. 

     Usia remaja merupakan periode yang paling rentan untuk mengalami BDD, baik pada perempuan maupun laki-laki. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa BDD terjadi pada 2.5% laki-laki dan 2.2% pada wanita, dimana gejala biasanya mulai terlihat pada usia 12-13 tahun (American Psychiatric Association, dalam ADAA 2021 ). Feusner dkk. (2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab munculnya BDD pada seseorang. Jika dilihat dari faktor perkembangan, adanya kekerasan seksual, emosional, maupun fisik pada masa kanak-kanak memiliki kaitan erat dengan terjadinya BDD. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 38% dari 50 pasien BDD mengalami kekerasan saat masa kanak-kanak. Selain itu, perubahan fisik yang dialami saat beranjak remaja juga menjadi faktor yang berkontribusi dalam munculnya BDD. Ditinjau dari interaksi sosial, adanya ejekan yang berkaitan dengan stigma fisik, seperti penyakit bawaan atau kelainan, dapat menyebabkan trauma pada individu. Hal tersebut tentunya akan memberikan dampak negatif pada pikiran dan emosi individu, yang selanjutnya mempengaruhi pandangan terhadap citra diri mereka sendiri. 

     Saat ini, penggunaan psikofarmaka dan cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan beberapa treatment atau penanganan yang dapat diberikan untuk pasien BDD. Phillips & Hollander (2008) mengungkapkan bahwa penggunaan obat memiliki pengaruh yang positif. Fakta ini tidak terlepas dari adanya kemungkinan bahwa BDD juga dapat disebabkan oleh faktor genetik/neurobiologis. Salah satu jenis obat yang sering digunakan adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), yang bekerja dengan mempengaruhi kadar serotonin dalam darah. Hal ini diharapkan dapat lebih efektif untuk mengontrol pikiran negatif dan perilaku yang berulang. Selain itu, Anxiety & Depression Association of America (2021) menyebutkan bahwa CBT yang dikombinasikan dengan exposure response prevention (ERP), yaitu pemberian berbagai “tugas” yang mendorong mereka melawan ketakutan dan pikiran negatif atas penampilannya, juga dapat menjadi metode penanganan yang efektif.

     Merasa tidak sempurna adalah sesuatu yang sangat wajar untuk kita rasakan, namun bukan berarti kita harus membenci diri kita sendiri. Your body is your home, yuk sayangi diri kita sendiri. Mulai sekarang, ayo biasakan berucap positif dan berterima kasih pada diri kita sendiri. Jika kamu merasa kesulitan, jangan ragu untuk cerita dengan orang terdekat ataupun mencari pertolongan professional yaa. Keep positive!

Look in the mirror and say,

“There is none other like you and for that reason alone, you are beautiful.” – Miranda Hart

Referensi

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 5th edition. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.

Leave a Reply