Inner Child

Oleh: Atika Pusagawanti
Editor: Avifa Khairunisa

Photo by Brian Gordillo on Unsplash

     Di Indonesia, siapa yang tidak mengenal Maudy Ayunda? Sosok artis terkenal dengan segudang prestasi pada karya seni, pendidikan, dan juga kecantikannya ini dikenal sebagai sosok artis yang cerdas. Hal ini tidak jauh dari peran utama lingkungan yang mendukungnya dari sejak kecil yaitu keluarga terutama orang tua. 

     Dikutip dari wawancara mama Maudy Ayunda, di Narasi Stories, ibunda Maudy tidak pernah memaksa anaknya menjadi orang yang tidak sesuai dengan diri anaknya. Beliau memberikan kebebasan kepada anaknya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Beliau tidak menuntut apapun dan hanya meminta dari anak-anaknya untuk mandiri, tanggung jawab, dan senang berbagi. Beliau selalu menanamkan sifat “Apa yang menjadi tanggung jawabnya harus ditanggung sendiri”. Dari pendidikan yang ditanamkan sejak kecil oleh ibu Maudy Ayunda, menjadikan Maudy sosok yang sangat inspiratif bagi kaum millennial. Dapat disimpulkan, Inner child dalam diri Maudy Ayunda berkembang dengan sangat baik.

     Bagi kalian pecinta drama korea, terutama genre thriller dan crime, pasti mengetahui drama yang berjudul Tunnel. Tunnel merupakan drama yang diangkat dari kisah nyata yang menceritakan tentang pembunuhan berantai. Dalam drama ini, sang pembunuh melakukan pembunuhan yang keji terhadap perempuan. Dalam satu tahun, ia berhasil membunuh kurang lebih 15 wanita. Ciri khas pembunuhannya selalu berpola, seperti stocking yang melilit di leher korban, atau pun titik di tumit mereka. 

     Rupanya, pembunuhan yang ia lakukan merupakan representasi atas kejadian dan kekecewaan dirinya di masa lalu. Sehingga, ia membunuh perempuan yang terlihat salah di matanya. Ia membunuh perempuan yang menyerupai ibunya, seperti perempuan dengan stocking karena sang ibu selalu memakainya. Ia membunuh perempuan karena ia ingin menjadi seorang penyelamat seperti di buku favorit yang ia baca ketika kecil. Ia memberikan titik di tumit korban, karena ia terinspirasi dengan pendekar perang yang menuliskan jumlah penjajah di dadanya.

     Semua ini dapat terjadi karena sang ibu tidak memberikan perhatian ketika di masa kanak-kanaknya. Kehidupan yang kekurangan ekonomi, ibu yang selalu pergi dan membawa lelaki lain setiap malamnya, menjadikan sang pembunuh sebagai sosok penyendiri yang tidak memiliki teman. Sehingga, tidak ada yang memotivasi dirinya untuk berbuat sesuatu atau pun memberikan dirinya petuah untuk menjadi orang yang positif, ditambah tidak ada keluarga untuk mendidiknya. Semua yang dia ketahui selalu dipelajarinya dari buku-buku. Sehingga, tanpa adanya pengalaman keluarga di masa kecil ini membuatnya memiliki inner child yang terluka.

     Dari kasus di atas, kita selalu disinggung dengan istilah inner child. Apa yang dimaksud dengan inner child? Dilansir dari Psychology Today, inner child adalah sekumpulan peristiwa masa kecil, yang baik atau buruk, dan membentuk kepribadian kita seperti sekarang ini. Menurut psikiatri Italia, Robert Assagioli, mengatakan bahwa inner child adalah dasar kepribadian seseorang dari pengalaman dia yang terbentuk dari masa kanak-kanak dan menyatu dengan pengalamannya di masa remaja serta masa-masa selanjutnya, transpersonal self (Assagioli, 1965). 

     Jika kita sering mudah marah, bersikap iri, cemburu, hal ini biasa disebut inner child. Inner child adalah sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari masa kecil. Menurut Dr. John bradshaw, anak pada usia 6-7 tahun sedang berkembang pesat gelombang otak. Pada usia tersebut, anak sedang berada dalam gelombang otak 4-7 teta. Dalam kondisi gelombang teta tersebut, anak menjadi mudah mengingat dan menyimpan kenangan yang akan ia ingat sampai ia dewasa.

     Secara paradoks, ketergantungan seperti anak kecil pada diri sendiri muncul berdasarkan sikap individualitas, kekuatan pribadi, dan solidaritas kita dengan orang lain dan dunia (Firman, 1991). Sikap berempati seperti ini terhadap sang anak, yang umum pada lingkungan pengasuhan di masa awal, memungkinkan terjadinya apa yang Winnicott sebut sebagai “kontinuitas menjadi” dan perkembangan dari “diri sejati” si anak (Winnicott, D. W., 1987). 

     Sehingga, jika seorang anak mengalami luka dalam inner child-nya seperti karena kekerasan dan pengabaian, akan mengakibatkan efek pada kehidupan anak tersebut secara keseluruhan. Trauma yang dia alami tidak hanya mengubah sifat dalam dirinya, tapi menyentuh hatinya dan akan ia akan membawa luka tersebut sampai dewasa.

     Dilansir dari center4selfdiscovery.org, inner child yang terluka terjadi karena:

  • Dipaksa untuk menyesuaikan perilaku dan cita-cita yang diharapkan orang tua. 
  • Diminta untuk memenuhi harapan orang tua 
  • Tidak boleh mengungkapkan perasaan kita yang sebenarnya.
  • Menyangkal jati diri sendiri agar mudah diterima dan dicintai
  • Merasa bertanggung jawab atas pencapaian yang belum pernah dicapai orang tua

     Tanda-tanda inner child yang terluka adalah sebagai berikut: 

  • Ketidakpercayaan terus-menerus tentang kehidupan
  • Sering memendam semua masalah sendiri
  • Perasaan malu dan ragu yang terus menerus
  • Takut akan hubungan
  • Pengalaman perasaan masa kecil dengan intensitas yang kuat
  • Berusaha untuk menyenangkan orang tua dan orang lain
  • Memiliki masalah dengan otoritas dan hierarki
  • Kebutuhan konstan untuk menilai, mengkritik, mengutuk dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain atas masalah kita
  • Menahan amarah, dendam, kecemburuan, ketakutan, dan rasa bersalah

     Ada beberapa langkah yang dapat kita ambil untuk menyembuhkan Inner Child yang terluka. Seperti mencari bantuan profesional lewat konseling, belajar untuk menyuarakan pendapat yang kita miliki, serta memahami lebih dalam mengenai masalah masa kecil kita demi menghasilkan afirmasi yang tepat untuk diri kita sendiri.

     Berikut adalah beberapa afirmasi yang bisa kita gunakan untuk “Inner Children” kita:

  • “Tidak apa-apa untuk berbagi dengan orang lain tentang pencapaian pribadi saya.”
  • “Tidak apa-apa menerima pujian dari orang lain.”
  • “Tidak apa-apa untuk jujur ​​​​dengan perasaan saya.”
  • “Tidak apa-apa untuk membuat kesalahan, menertawakan diri sendiri dan melanjutkan.”
  • “Tidak apa-apa untuk menjadi ‘egois’ dan melakukan hal-hal yang benar-benar ingin saya lakukan.”
  • “Tidak apa-apa membiarkan orang lain melayani saya.”

     Dengan mencoba menyembuhkan Inner Child kita yang terluka, kita belajar untuk tidak mudah menjadi orang yang sensitif dan mencegah efek buruknya untuk masa depan kita. Jika tidak menyadari inner child kita apa, kita akan sulit menjalin hubungan dengan banyak orang. Jika ingin benar-benar bahagia, cobalah belajar mengolah dan mengenali inner child kita agar benar-benar menjadi orang yang bahagia.

Daftar Pustaka

Assagioli, R. (1965). Psychosynthesis, a Manual of Principles and Techniques. New York: The Viking Press.

 

Leave a Reply