Resiliensi Penyintas Bencana: Upaya Membasuh Luka dan Bertumbuh Bersama

Oleh: Debora Debby Hanggoro Editor: Rifdah Aurora

Sebagai negara yang terletak di pertemuan empat lempeng tektonik dan beriklim tropis yang didukung dengan pergantian cuaca yang ekstrim, Indonesia menjadi negara yang rawan bencana. Menilik jauh ke belakang, berbagai bencana terjadi hampir tiap tahun, seperti letusan gunung berapi, tsunami, likuifaksi, banjir, longsor, bahkan saat ini Indonesia dihadapkan pada pandemi yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Bencana yang ada selalu membawa kabar duka, tak jarang merenggut tiap nyawa tanpa aba-aba. Tentunya hal ini membawa berbagai dampak, terutama bagi individu yang mengalaminya secara langsung atau dengan kata lain ialah penyintas. Penyintas mengalami risiko guncangan psikologis yang lebih berat, penyintas dapat merasakan ketidakberdayaan, diliputi rasa bersalah apabila ia merupakan individu yang selamat saat anggota keluarganya tidak selamat, beberapa penyintas juga dapat mengalami ketidakstabilan emosi yang ditandai dengan mudah marah dan curiga, menarik diri, mudah terkejut karena seolah-olah kejadian traumatis tersebut kembali terjadi dalam pikiran penyintas, serta mengalami mimpi buruk.


 Bencana telah meninggalkan luka mendalam bagi para penyintas dari menghadapi peristiwa bencana dan menyaksikan kejadian mencekam yang merenggut nyawa keluarga dan orang orang terkasih. Namun, di balik peristiwa traumatis tersebut, penyintas yang mampu bertahan dan terus berjuang untuk melanjutkan kehidupan dapat diprediksi memiliki kepribadian yang resilien, penelitian pun menyatakan demikian. Menurut Fitri (2014), resiliensi adalah kemampuan individu dalam menghadapi stressor ataupun dampak dari situasi sukar yang disertai dengan kemampuan untuk pulih. Selain itu, sumber lain menyatakan bahwa resiliensi merupakan bentuk adaptasi individu untuk menghadapi situasi tidak menyenangkan. Constance Loraine Lacy (dalam Jannah dan Rohmatun, 2018) menemukan bahwa dukungan sosial berkorelasi positif dengan resiliensi. Jadi, dapat dipahami bahwa resiliensi ini juga tak lepas dari campur tangan berbagai faktor, seperti dukungan orang di sekitar. Friborg dkk. (dalam Fitri, 2014) menyatakan bahwa resiliensi merupakan konstruk–yang tersusun dari berbagai dimensi–, dalam hal ini, resiliensi juga difasilitasi oleh dukungan keluarga dan lingkungan sosial. Bagi penyintas, adanya dukungan dari orang sekitar akan menjadikan dirinya merasa dicintai, nyaman, dan tentram sehingga siap menjalani hidup.


Lalu, apa yang bisa kita lakukan, sebagai sesama manusia untuk membantu penyintas menjadi pribadi yang resilien?

 Kita dapat memberikan berbagai macam bentuk dukungan yang terdiri dari dukungan emosional, informatif, penghargaan, dan dukungan instrumental (Tampi dkk., 2013).


 Dukungan emosional dapat dilakukan dengan cara memberikan ekspresi rasa cinta, kasih sayang, perhatian, dan kepedulian pada penyintas. Hal ini akan membantu penyintas mengurangi rasa cemas, membantu penyintas merasa nyaman, dicintai saat menghadapi stressor yang timbul akibat bencana, dan merasa diterima.


 Dukungan penghargaan dapat dilakukan dengan memberikan dorongan untuk maju. Hal ini akan memantik keyakinan pada diri penyintas bahwa ia mampu melewati keadaan sulit dan menciptakan iklim positif, bahwa kehidupan yang lebih baik akan tetap terwujud terlepas dari luka dan peristiwa traumatis yang telah dialami penyintas.


 Dukungan informatif dapat berupa pemberian informasi, nasihat, saran, dan petunjuk yang dapat digunakan penyintas untuk mengambil keputusan. Dukungan informatif ini juga dapat menambah pengetahuan bagi penyintas terkait masalah yang sedang dihadapi.


 Dukungan instrumental dapat berupa pemberian bantuan bagi penyintas yang mendukung aktivitas pasca bencana. Bantuan yang diberi salah satunya berupa materi yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup penyintas pasca bencana dan menata kehidupan kembali.

 

 Penelitian yang dilakukan oleh Jannah dan Rohmatun (2018), menyatakan bahwa individu yang mendapat dukungan sosial dari keluarga, teman, dan masyarakat akan lebih mampu menghadapi kesukaran dibanding individu tanpa dukungan sosial. Dari berbagai penelitian yang ada, dapat dipahami bahwa dukungan sosial merupakan konstruk yang dibutuhkan penyintas untuk menjadi pribadi yang resilien. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita tidak menutup mata, tak lelah untuk mengulurkan tangan, dan menjadi tempat paling aman bagi para penyintas karena setiap dukungan kita adalah bagian dari kemanusiaan.


Source :

Kusristanti, C., Triman, A., & Paramitha, R. G. (2020). Resiliensi Trauma Pada Dewasa Muda Penyintas Kekerasan yang Terindikasi Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Personifikasi, 11(1), 16-33.

Leave a Reply