Mengenal Lebih Dekat Dengan Suicide Crisis Syndrome

Oleh: Syafana R. Putri
Editor: Avifa Khairunisa

Sumber: Alex Green from Pexels

     Halo, sobat Patahkan Sekat! Apakah kamu sebelumnya pernah mendengar mengenai suicide crisis syndrome (SCC)? Mungkin istila SCC masih asing di telinga masyarakat. Tapi, sebelum kita bahas syndrome ini, kita perlu memahami arti dari suicide itu sendiri. Suicide berasal dari bahasa latin yang terdiri dari “sui” yang artinya sendiri atau self dan juga “cide” yang berarti membunuh atau kill. Sehingga, suicide berarti membunuh diri sendiri.

    WHO (World Health Organization) telah melaporkan bahwa setiap tahunnya bunuh diri sudah menyebabkan kematian sebanyak 800.000 jiwa. Itu artinya, setiap menitnya ada satu nyawa yang melayang yang disebabkan karena bunuh diri ini. Nggak terbayang, bukan? Selain itu, bunuh diri juga menjadi penyebab kematian terbanyak yang kedua pada kelompok 15-29 tahun, dan artinya kebanyakan anak-anak muda yang melakukan bunuh diri tersebut.

    Sedangkan, suicide crisis syndrome merupakan sindrom krisis bunuh diri di mana kondisi ini menjadi penanda bahwa peningkatan resiko perilaku bunuh diri berada dalam waktu dekat. Sederhananya, kalau selama ini kita mengetahui bahwa keinginan bunuh diri bisa timbul dalam 10 menit sebelum seseorang melakukan tindakan tersebut, maka suicide crisis syndrome adalah keinginan bunuh diri yang mengancam dan akan segera terjadi. Artinya, keinginan bunuh diri ini memang kondisi mental seseorang tersebut.

     Sindrom ini dapat digambarkan dengan kondisi mental pra bunuh diri yang dinilai berdasarkan adanya dis-regulasi kognitif dan afektif. Sindrom ini pertama kali dikemukakan oleh Yaseen et al (dalam jurnal Suicide and Life Threatening Behaviour, 2018) yang merupakan hasil dari penilaian pasien menggunakan instrumen suicide trigger scale (STS) yang dapat memprediksi perilaku bunuh diri. Sindrom ini juga merupakan kondisi akut yang akan berkembang dalam hitungan jam sampai hari sebelum perilaku bunuh diri. Dalam beberapa studi telah menemukan bahwa suicide crisis syndrome ini memiliki 5 komponen utama, diantaranya entrapment, affective disturbance, loss of cognitive control, altered arousal, dan social withdrawal.

Kriteria Diagnosis SCC

     Dalam artikel Alomedika oleh Irwan Supriyanto, 2019 menyebutkan bahwa saat mengidentifikasi suicide crisis syndrome, pasien harus memenuhi kriteria A dan dua kriteria B. 

   Kriteria A : pada kriteria ini, pasien ditandai dengan keadaan dimana perasaannya terasa seperti terjebak atau entrapment yang persisten dan juga merasa putus asa. Pasien seperti terperangkap dan terjebak dalam situasi kehidupan yang sangat menyakitkan dan tak tertahankan, serta mereka tidak menemukan adanya jalan keluar dari permasalahan mereka. Peneliti mengatakan bahwa dalam satu bulan, tingkat risiko bunuh diri yang memenuhi kriteria sindrom ini sebesar 13%.

    Kriteria B : Sedangkan, pada kriteria B terdiri dari komponen gangguan afektif, kehilangan kendali kognitif, dan altered arousal, serta withdrawal. 

     A. Gangguan afektif atau diskontrol afektif.

  Gangguan ini dapat menimbulkan beberapa gejala berbeda yang terkadang saling tumpang tindih, yaitu perasaan depresi (depressive turmoil), kecemasan disertai kebingungan (frantic anxiety), anhedonia akut, dan nyeri emosional. Panik yang parah disertai dengan agitasi dan disosiasi juga termasuk gejala dari gangguan afektif ini. 

     B. Kehilangan kendali kognitif atau diskontrol kognitif.

  Komponen ini mencakup ruminative flooding atau perenungan yang lebih dalam yang terkait dengan sakit kepala atau tekanan kepala dan ketidakmampuan untuk menekan pemikiran ruminatif tersebut. Misalnya seperti pertanyan, “Apakah kita mengendalikan pikiran atau apakah pikiran yang mengendalikan kita?”

     C. Altered arousal.

  Pada komponen ini gejala yang timbul adalah over arousal atau gelisah yang menjadi faktor resiko akut untuk bunuh diri. Gejala ini meliputi agitasi, kewaspadaan berlebihan, iritabilitas dan insomnia. 

     D. Social withdrawal.

  Yaitu penarikan diri atau isolasi sosial. Komponen ini merupakan salah satu prediktor kuat untuk bunuh diri. Mereka yang melakukan isolasi sosial baik secara fisik maupun psikologis memiliki risiko lebih besar untuk melakukan aksi bunuh diri. Gejalanya berupa penarikan diri atau penurunan aktivitas sosial dan menghindari kontak atau berkomunikasi dengan orang lain. 

 

     Lalu, apakah diagnosis terkait sindrom ini perlu? Jawabannya, sangat perlu! Penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 75% seseorang meninggal akibat bunuh diri tidak melaporkan ide bunuh diri tersebut ke psikolog, psikiater, ataupun dokter perawatan primer. Pasien yang mengidap sindrom krisis bunuh diri ini (SCC) tidak memasukkan ide bunuh diri sebagai gejala atau kriteria. Hal itu disebabkan karena tidak semua orang yang berisiko merasa ingin bunuh diri sampai mereka melakukannya. 

     Beberapa diantara, mereka akan menyembunyikan ide bunuh diri tersebut dari psikolog, psikiater, atau dokter mereka agar tiada satu pun yang dapat menghalangi aksinya. Selain itu, diagnosis ini sangat diperlukan karena suicide crisis syndrome menciptakan sebuah gambaran yang lebih lengkap tentang risiko pasien. Penilaian kriteria dapat membantu dokter untuk mempertimbangkan lebih banyak faktor untuk risiko yang akan segera terjadi daripada pasien melaporkan sendiri bahwa dirinya ingin melakukan aksi bunuh diri tersebut.

     Setelah memahami arti suicide crisis syndrome, sudah jelas bahwa kita harus meningkatkan awareness baik pada diri sendiri maupun lingkungan sekitar, serta menanamkan pikiran positif. Kalau memang kamu butuh pertolongan, segeralah kunjungi pihak profesional. Apabila kamu melihat temanmu dengan gejala-gejala di atas, berilah mereka support dan temani mereka untuk mengunjungi pihak profesional agar mereka tidak merasa sendiri. 

Leave a Reply